Film Gowok: Kamasutra Jawa hadir di bioskop Indonesia pada Juni 2025, membawa penonton pada sebuah perjalanan sinematik yang unik, mendalam, dan penuh kontroversi. Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, film ini bukan hanya tontonan, melainkan juga refleksi kultural yang berani membongkar sisi lain dari sejarah dan tradisi Jawa yang selama ini terbungkus tabu.

Sinopsis Singkat

Berlatar pada era 1955 hingga 1965, film ini menceritakan tentang sosok “gowok”—pria dewasa yang mengabdikan dirinya untuk mendidik para wanita muda menjelang pernikahan, khususnya dalam hal hubungan suami-istri dan keharmonisan rumah tangga. Dalam konteks budaya Jawa, peran ini dijalankan bukan dengan pendekatan vulgar, melainkan sebagai bagian dari ritual spiritual dan edukatif.

Tokoh utama, seorang gowok kawakan, menjadi pusat cerita dalam membimbing seorang gadis bangsawan yang dijodohkan dalam usia muda. Namun, di balik proses pembimbingan itu, terselip konflik batin, ketertarikan emosional, hingga pertemuan dua dunia: antara adat dan modernitas, antara cinta dan kewajiban.

Inspirasi dan Latar Budaya

Gowok: Kamasutra Jawa tidak berdiri sendiri sebagai fiksi belaka. Hanung Bramantyo menggali referensi dari naskah-naskah kuno Jawa, seperti Serat Centhini, serta wawancara dengan budayawan dan antropolog. Dalam budaya Jawa, seksualitas tidak selalu dikaitkan dengan dosa, melainkan bagian dari kesempurnaan hidup manusia, yang diselaraskan dengan spiritualitas dan etika.

Film ini juga mengangkat filosofi “Kama” (kenikmatan) dalam ajaran Hindu-Buddha yang dulu begitu kental di tanah Jawa. Tema yang selama ini dianggap terlalu sensitif di ruang publik, dibalut dengan elegansi dan sinematografi yang halus.

Akting & Produksi

Penampilan para aktor utama, terutama pemeran gowok, disebut-sebut sangat memukau dan subtil. Penggunaan bahasa Jawa halus dan medok turut memperkuat nuansa otentik. Setting lokasi pun dibuat menyerupai pedesaan Jawa tahun 1950-an dengan detail yang memanjakan mata—dari kain batik lawasan, rumah joglo, hingga gamelan yang mengiringi sejumlah adegan.

Musik latar yang digubah dengan perpaduan gamelan dan instrumen modern turut mempertegas suasana intim dan kontemplatif. Semua elemen sinematik disusun untuk memberi ruang perenungan—bukan sekadar sensasi.

Kontroversi & Apresiasi

Tak dipungkiri, film ini menuai berbagai reaksi. Sebagian menganggapnya terlalu vulgar atau membuka kembali praktik kuno yang tidak relevan. Namun, banyak pula yang memuji keberanian film ini menyuarakan topik yang nyaris tak pernah dibicarakan dalam konteks budaya lokal.

Di beberapa festival film, Gowok: Kamasutra Jawa diganjar penghargaan untuk desain produksi dan sinematografi terbaik. Kritikus menyebutnya sebagai “film yang mengaburkan batas antara seni, sejarah, dan erotisme dalam satu tarikan napas.”

Kesimpulan

Gowok: Kamasutra Jawa adalah film yang menantang penonton untuk membuka pikiran. Bukan semata soal seks, tapi soal warisan nilai yang pernah hidup dan kini mulai terlupakan. Lewat narasi yang kuat dan penyajian yang puitis, film ini mengingatkan bahwa dalam setiap budaya, ada kebijaksanaan yang layak dihargai, meskipun kerap tertutup debu tabu.